Langsung ke konten utama

Aku dan Cinta Pertamaku

Tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentangnya. Tapi memori singkat itu akan selalu membekas dalam benakku. Tangis, tawa, marah, canda yang selalu terngiang di dalam pikiranku. Sampai kapan pun tidak akan pernah kulupakan dan aku tidak ingin lupa. Suaranya tak pernah meninggi, tawanya selalu menular. Tiga belas tahun kami hidup bersama dan tak pernah aku merasa tidak diinginkan. Pelukannya selalu hangat. Aku tidak pernah tau apa yang dirasakannya diluar sana, yang aku tahu dia sangat baik dan mempesona. Kami selalu terlihat mesra dengan aku yang selalu manja kepadanya.
Pagi itu sangat gaduh. Terdengar teriakan kencang dari mama.
“Haaaaa. Pergi sana. Pergiiii!” Teriak mama.
Aku dengan mataku yang setengah mengantuk mencoba memahami keadaan yang sedang terjadi di rumah. Saat itu aku tidak hanya tinggal dengan mama, papa, dan adik tetapi juga ada yangkung dan yangti. Disebelah rumah, hanya berbeda 4 rumah, ada rumah bude Emi, kakak kandung mamaku. Pagi itu semua orang berkumpul di kamar mama papa, terlihat bude Emi, yangkung dan yangti memegangi kedua tangan mamaku, menahannya untuk tidak melemparkan semua benda yang ada didekatnya. Setelah melihat aku keluar dari kamarku dan melihat kejadian itu, bude Emi dengan cepat langsung menggandeng tanganku dan menggendong adikku untuk diajak kerumahnya. Banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Kenapa mama? Apa yang terjadi dengan mama dan papa sehingga aku melihat papa yang mematung dan mama yang teriak bak orang kerasukan?
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku baru tahu bahwa ini adalah awal dari perpisahan kami, perpisahanku dengan papa. Ya, mama memutuskan untuk bercerai dengan papa. Tapi yang aku pahami saat itu adalah aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan papa, laki-laki pertamaku, cinta pertamaku. Hatiku sangat sedih dan perih sekali saat mengingat dan memikirkan hal itu. Saat itu aku masih berusia tiga belas tahun. Hal yang aku butuhkan sepenuhnya adalah papa dan mama yang harusnya terus bersama, menemaniku sampai aku dewasa dan memiliki anak yang juga berarti itu adalah cucu mereka. Aku sempat jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit karena gejala tifus. Aku berharap bisa bertemu papa dan kami menghabiskan banyak waktu bersama. Tapi itu hanyalah anganku karena mama tidak membiarkan papa berlama-lama menjengukku. Kami hanya menghabiskan waktu kurang dari satu jam dan itu pun diawasi ketat oleh mama seakan-akan aku dalam kondisi yang berbahaya jika bersama papa.
“Mbak yang kuat ya, kalau ada apa-apa bilang Papa ya.” dengan suara setengah berbisik, papa mengucapkan kata-kata yang seketika membuat aku tidak bisa berkata apa-apa. Padahal yang sebenarnya, banyak sekali pertanyaan yang terlintas di benakku. Apa aku masih bisa bertemu papa? Apakah papa akan sering-sering mengunjungiku? Tidak bisakah mama dan papa bersatu kembali? Sehingga kami tidak akan pernah dipisahkan secepat ini? Aku butuh papa, jangan pergi pa!
Namun itulah aku, yang sampai saat ini selalu dalam keadaan sulit untuk mengutarakan perasaanku dan takut untuk menyampaikan hal yang membuatku tidak nyaman. Pun saat aku akhirnya bertemu kembali dengan papa setelah dua belas tahun lamanya kami tidak saling kontak. Kami bertemu lagi pada akhirnya di KUA. Ya, aku akan menikah dan pencarianku untuk membawa papa hadir ke pernikahanku sampai pada titik ini. Kami berdua mematung selama beberapa detik sampai akhirnya saling menyapa.
“Mbak apa kabar? Sehat? Gimana kabarnya adik?” papa gugup.
“Alhamdulillah baik Pa.” hanya kalimat itu yang bisa aku ungkapkan. Padahal banyak pertanyaan dan pernyataan yang ingin aku sampaikan ke papa. Tapi kami hanya bisa gugup dan bergerak sesuai arahan petugas KUA saat itu.
“Mbak maaf ya Papa tidak bisa datang ke acaramu. Kamu jaga diri baik-baik ya.”
Aku hanya mampu menganggukkan kepala.
“Mas, titip Sera ya. Dia putriku, kekasih hatiku, rejeki pertamaku, penyemangatku. Jaga dia seperti saat aku menjaganya dulu ya.” suara papa mulai bergetar.
“Iya Om.”
Aku menangis. Sungguh rasanya sangat rindu ingin memeluk. Mengatakan bahwa aku selama ini merindukannya, membutuhkannya, berharap bisa berkumpul untuk sekedar makan bersama. Tapi aku hanya mematung disitu dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku. Itulah terakhir kalinya kami bertemu. Aku sangat menyesal sekali kenapa kami tidak menghabiskan waktu bersama saat itu. Banyak bercerita tentang pahit manis kehidupan yang aku lalui tanpanya. Kini aku kehilangan papa untuk selamanya. Tapi kenangan kami yang singkat akan selalu membekas di benakku.
Perasaan terbaik adalah perasaan yang diungkapkan dan dikomunikasikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stoikisme, Tidak Serta-merta Membuat Kita Nampak "Bodo Amat"

Cuaca hari ini benar-benar buruk, hujan turun dengan angin besar dan petir menggelegar yang membuat rencana bepergianmu batal; kamu hendak mengumpat menganjingbabikan semesta, tetapi kamu tidak jadi melakukannya. Alih-alih, kamu hanya diam, menyeduh secangkir teh hangat dan mengambil sepiring cookies, mengambil buku favoritmu, mengambil selimut, kemudian duduk di sofa dan menikmati hari untuk menggantikan perjalananmu yang batal dan berpikir bahwa selalu ada hari esok untuk itu. Tetapi, kemudian, kamu mendengar suara tetesan air yang terdengar keras di belakangmu. Kamu terkejut saat menemukan atapmu berlubang yang menciptakan celah untuk air masuk ke dalam ruangan, dan itu tepat di atas meja komputermu. Kamu mencari sesuatu untuk menampungnya, sembari berpikir, "Bagaimana jika aku pergi sebelum hujan, itu mestilah sangat buruk, air akan mengenai komputerku dan membuatnya rusak, aku bersyukur tidak melakukannya." Setelah selesai, kamu kembali ke sofamu dan melanjutkan bacaanmu...

Pesan Untukku di Masa Depan

Sepucuk surat untukku di masa depan:  "Halo diriku yang di masa depan. Apa kabar? Aku yakin kamu selalu bail-baik saja. Terutama saat ini. Lihatlah dirimu yang sekarang. Tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Sesuai dengan yang kamu harapkan. Kamu pasti akan tersenyum membaca tulisanku di tahun 2024 ini. Tahun ini adalah titik balik dari kehidupanmu yang sebelumnya. Masih ingatkah kamu? Di tahun ini kamu memutuskan untuk merubah dirimu menjadi wanita tangguh. Lebih tangguh dari sebelumnya. Semua hal yang kamu dapat sekarang adalah hasil dari manifestasimu di tahun ini. Kamu masih melakukannya bukan? Melanjutkan semua mimpi-mimpimu menjadi kenyataan. Bekerja sama dengan alam semesta lewat doa dan manifestasi yang kamu lakukan bertahun-tahun lamanya secara konsisten. Kamu mulai memutuskan untuk menekuni dunia yang kamu inginkan pada tahun ini pula. Segala bentuk upaya untuk menghebatkan dirimu, sudah kamu lakukan di tahun ini.  Aku yakin kamu yang sekarang adalah...

Wanita Melamar Pria Duluan?

Baru-baru ini sosial media digemparkan oleh berita seorang wanita bertekuk lutut di depan publik dan melamar pria duluan. Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian relate ? Setuju atau tidak jika wanita melamar pria duluan? Okay, let see. Mari kita bahas dari sudut pandang ilmu hukum alam semesta dalam feminine masculine energy secara netral.  Sebenarnya jika wanita melamar pria terlebih dulu sudah banyak dan sering terjadi di luar Indonesia, terutama para wanita extreme radical feminist yang merasa wanita berhak maju duluan, proaktif, menafkahi pria dan membiarkan sang pria mengurus keperluan rumah, bahkan melamar pria duluan. Kemudian hal ini menjadi viral dan menuai pro-kontra dalam pandangan masyarakat. Lalu baru-baru ini muncul dan terjadi di Indonesia, kemudian viral. Adegan wanita yang bertekuk lutut di hadapan pria yang merupakan pacarnya dan diduga hal ini terjadi karena si pacar tidak kunjung melamarnya. Katanya sih, “Wanita berhak maju duluan.” bahkan banyak...