Cuaca hari ini benar-benar buruk, hujan turun dengan angin besar dan petir menggelegar yang membuat rencana bepergianmu batal; kamu hendak mengumpat menganjingbabikan semesta, tetapi kamu tidak jadi melakukannya. Alih-alih, kamu hanya diam, menyeduh secangkir teh hangat dan mengambil sepiring cookies, mengambil buku favoritmu, mengambil selimut, kemudian duduk di sofa dan menikmati hari untuk menggantikan perjalananmu yang batal dan berpikir bahwa selalu ada hari esok untuk itu.
Tetapi, kemudian, kamu mendengar suara tetesan air yang terdengar keras di belakangmu. Kamu terkejut saat menemukan atapmu berlubang yang menciptakan celah untuk air masuk ke dalam ruangan, dan itu tepat di atas meja komputermu. Kamu mencari sesuatu untuk menampungnya, sembari berpikir, "Bagaimana jika aku pergi sebelum hujan, itu mestilah sangat buruk, air akan mengenai komputerku dan membuatnya rusak, aku bersyukur tidak melakukannya."
Setelah selesai, kamu kembali ke sofamu dan melanjutkan bacaanmu. Dan, ketika selesai, kamu tertidur dengan perasaan tenang.
Kamu terbangun ketika hujan sudah selesai, hari sudah gelap. Kamu membersihkan wadah tampungan air dan segera berpikir untuk memanggil tukang untuk memperbaikinya besok.
Kamu membuka ponsel, menyalakan jaringan, dan kamu langsung disambut dengan pesan beruntun dari temanmu yang memberikan tautan tentang orang asing yang menghina negaramu. Kamu membukanya, dan seketika merasa kesal, karenanya, kamu menulis kalimat panjang untuk menghina kembali sebagai balasan di laman komentar. Tetapi, ketika kamu hendak menekan tombol kirim, kamu teringat untuk apa kamu membuka ponsel.
Kamu menghapusnya, keluar dari tautan tanpa meninggalkan jejak apa-apa, kemudian segera mengirimkan pesan kepada tukang memintanya untuk datang dan memperbaiki atap bocor di ruanganmu.
Itu bagus, pikirmu, kamu tidak akan menorehkan satu lagi jejak buruk digital yang akan kamu sesali di kemudian hari.
Kamu kemudian mandi dan berniat untuk membuat makan malam, menyadari bahwa kamu kekurangan bahan makanan karena sebelumnya kamu berniat untuk bepergian. Kamu segera bergegas untuk pergi ke swalayan, membeli beberapa sayuran dan makanan instan, kemudian pergi menuju antrian.
Sayang sekali, ketika hendak melakukannya, kamu bertabrakan dengan seseorang yang membawa minuman, minumannya tumpah dan mengenai dirimu. Orang itu mengumpat, mengatakan maaf dengan cepat dan bergegas meninggalkanmu menuju pintu keluar.
Kamu ingin mengumpat, tetapi orang itu sudah pergi dan ada beberapa anak di sekitarmu, mereka bisa mendengar dan menirumu. Kamu tidak jadi melakukannya.
Ketika kamu keluar dari swalayan, kamu menemukan orang itu berdiri di samping pintu keluar. Dia menyodorkanmu segelas minuman hangat dan mengatakan bahwa ia sedang terburu-buru. Kali ini ia meminta maaf dengan benar.
Kamu tersenyum dan mengatakan itu bukan masalah, bersyukur tidak jadi mengumpat saat berada di dalam.
Kamu pulang, membersihkan diri lagi, memasak makan malammu, makan dengan tenang, mendengarkan lagu kesukaanmu, membaca lagi, dan bergegas menuju ranjang dan berharap dapat tidur dua jam sebelum tengah malam.
Hari ini banyak kesialan, pikirmu. Kamu segera membuka ponselmu dan berniat untuk menjadikannya sebagai bahan cerita untuk dibagikan kepada para pengikutmu. Tetapi, kemudian, kamu berpikir; jika kamu melakukannya, maka ada kemungkinan seseorang akan membalasnya, dan kamu harus membalasnya pula, dan kalian akan saling berbalas-balasan sehingga kamu akan lupa waktu. Tidurmu akan terlambat yang akan membuatmu bangun terlambat pula. Badanmu akan sakit.
Kamu tidak jadi melakukannya. Kamu lantas menutup ponsel dan mulai mencari posisi nyaman untuk tidur.
Berharap besok kamu akan tetap bisa mengendalikan dirimu untuk tidak melakukan hal yang akan membuatmu menyesal di esok hari.
Saya yakin kamu sering menemukan esai atau cerita yang mirip dengan fragmen di atas ketika berbicara tentang stoik. Itu adalah catatan lama saya, omong-omong, saya buat dengan pertanyaan awal yang kurang lebih meminta saya untuk menuliskan "kemustahilan di dunia nyata."
Wqwqwq.
Saya baru beberapa bulan ini menemukan stoikisme omong-omong, dan seketika jatuh cinta padanya sampai pada titik di mana gelar kaisar Romawi favorit saya sekonyong-konyong langsung bergeser dari Augustus menuju Marcus Aurelius :D
Aliran ini benar-benar tampak sempurna di mata saya. Term-term seperti dikotomi kendali, aproptosia, anelenxia, aneikaiotes, amataiotes, view from above, premeditatio malorum, amor fati, dan prinsip-prinsip dasar stoa lainnya benar-benar meracuni otak saya.
Apa yang tidak saya pahami adalah fakta bahwa saya bukan orang yang cerdas. Saya tidak mampu menafsirkan segala hal dengan benar. Termasuk stoikisme ini.
Dikotomi kendali, misalnya. Alih-alih memaknainya sebagai sebuah cara pandang untuk mengendalikan diri sendiri, saya malah memaknainya sebagai cara lain untuk bersikap apatis dan ignoran terhadap segala hal.
Saya juga menulis daftar untuk memastikan dikotomi kendali saya tetap berjalan dengan baik, omong-omong, ini dia:
Hal-hal yang bisa kamu kendalikan:
1. Pikiranmu
2. Tindakanmu
3. Perkataanmu
4. Caramu mengungkapkan pendapatmu
5. Caramu mengelola barang milikmu
6. Caramu menyayangi dirimu
7. Batasanmu
Hal-hal yang tidak bisa kamu kendalikan:
1. Perkataan orang lain
2. Perasaan orang lain
3. Apa yang orang lain pikirkan
4. Apa yang orang lain katakan
5. Waktu, cuaca, suhu, kondisi alam di suatu tempat
6. Hal-hal yang telah terjadi
Dengan berpatokan pada daftar ini, bukannya menjadi manusia tenang, saya malah nampak seperti manusia yang terlalu bodo amatan. Saya tidak peduli pada kematian orang lain, saya tidak bisa berempati pada perasaan orang lain, saya bahkan menganggap semua pendapat orang lain tidak penting.
Stoikisme tiba-tiba berubah menjadi solipsisme. Saya seketika berubah menjadi manusia paling bajingan di seantero alam semesta. Analoginya.
Efek jangka panjang dari ignoran berkedok dikotomi kendali ini sendiri jauh lebih mengerikan.
Saya kolaps.
Semua emosi yang selama bertahun-tahun saya pendam atas nama pengendalian diri, segala kenegatifan yang saya telan diam-diam tanpa sedikitpun memiliki jalur pengeluaran, setiap masalah yang saya abaikan karena merasa itu bukan masalah; pada akhirnya meledak.
Saya marah tanpa bisa saya kendalikan, ada chaos dalam diri yang tak bisa saya netralkan. Ironis sekali, daftar pertama pada hal yang harus saya kendalikan justru menjadi hal yang mulai mengendalikan saya.
Meskipun kejadian pada diri saya adalah kesalahan saya sendiri atas penafsiran yang tidak tepat, tetapi pada akhirnya saya menemukan satu kekurangan stoikisme; dia tidak tercipta untuk saya.
Stoikisme memang tidak memiliki kekurangan dalam ide-idenya. Dia sempurna, tanpa cela. Namun, terlalu sempurna untuk manusia yang tidak akan bisa sempurna.
Kita melupakan bahwa manusia penuh luka, bisa mengalami trauma, dan tidak semuanya memiliki isi kepala.
Stoikisme tidak bisa diterapkan secara universal, sebab ia mengabaikan hakikat dasar manusia sebagai makhluk yang memiliki kepekaan rasa (homo recent), yang kadang-kadang, kepekaan rasa ini bertindak lebih cepat sebelum otak memikirkan apa-apa.
Manusia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan dunia di luar dirinya, sebab di sanalah mereka hidup. Kita terbentuk dari hubungan antar diri dan objek internal, that's what makes us us.
Meskipun para stoik berdalih bahwa stoikisme tidak sepenuhnya menolak adanya emosi, tetapi mereka cenderung menyebut mengekspresikan emosi adalah tindakan bodoh dan menyakiti diri sendiri. Utamanya adalah marah.
Welp, it does.
Akan tetapi, apakah semua orang bisa untuk tetap tidak marah? Apakah marah memang selalu berakibat negatif? Bagaimana jika kemarahan bisa memberi efek jera yang menyadarkan orang yang kita marahi bahwa ia telah berbuat kesalahan dan mau berubah menjadi lebih baik?
Artinya, relasi antar manusia-emosinya-subjek lain itu terlalu kompleks. Adalah tindakan ceroboh jika mengasumsikan suatu tindakan hanya bisa berakhir pada satu kondisi.
Pada akhirnya, saya hanya bisa mengatakan kepada para stoik: manusia tidak hanya terpusat pada isi kepala. Kita punya hormon, alam bawah sadar, dan perasaan yang kadang-kadang mempengaruhi tindakan kita.
Manusia pada cerita pertama mungkin saja ada, tetapi saya yakin jumlahnya tidak lebih banyak dari jumlah semua kue coklat yang pernah dibuat di seluruh dunia.
Jadi, tolonglah, jadi sedikit lebih realistis:)
Kesimpulannya, apa kekurangan stoikisme?
Hanya ada dua yang utama. Pertama, cenderung disalahtafsirkan. Apalagi hanya dibaca sepotong-sepotong dari kutipan para stoik di internet. Kedua, tidak praktis. Sulit sekali diterapkan.
Tidak semua orang bisa lepas dari PTSD, tidak semua orang bisa lepas dari perasaan-perasaannya.
Hanya orang yang mengisolasi dirilah yang sepenuhnya tidak terpengaruh dari dunia luarnya.
Terakhir, memeeeeeee. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan ini😔👊
Stigma:
Realita:
Welp, itu saja.
Terima kasih sudah membaca🌼
Sukak
BalasHapus